KARAKTERISTIK
PESERTA DIDIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN
PENDAHULUAN
Sebagai seorang
guru, sangat perlu memahami perkembangan peserta didik. Perkembangan peserta
didik tersebut meliputi: perkembangan fisik, perkembangan sosioemosional, dan
bermuara pada perkembangan intelektual. Perkembangan fisik dan perkembangan
sosio sosial mempunyai kontribusi yang kuat terhadap perkembangan intelektual
atau perkembangan mental atau perkembangan kognitif siswa.
Pemahaman
terhadap perkembangan peserta didik di atas, sangat diperlukan untuk merancang
pembelajaran yang kondusif yang akan dilaksanakan. Rancangan pembelajaran yang
kondusif akan mampu meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga mampu
meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang diinginkan.
1. Perkembangan
Fisik Anak/Siswa
Anak masuk kelas
satu SD atau MI berada dalam periode peralihan dari pertumbuhan cepat masa anak
anak awal ke suatu fase perkembangan yang lebih lambat. Ukuran tubuh anak
relatif kecil perubahannya selama tahun tahun di SD. Pada usia 9 tahun tinggi
dan berat badan anak laki laki dan perempuan kurang lebih sama. Sebelum usia 9
tahun anak perempuan relatif sedikit lebih pendek dan lebih langsing dari anak
laki laki.
Pada akhir kelas
empat, pada umumnya anak perempuan mulai mengalami masa lonjakan pertumbuhan.
Lengan dan kaki mulai tumbuh cepat. Pada akhir kelas lima , umumnya anak perempuan lebih tinggi,
lebih berat dan lebih kuat daripada anak laki laki. Anak laki laki memulai
lonjakan pertumbuhan pada usia sekitar 11 tahun. Menjelang awal kelas enam,
kebanyakan anak perempuan mendekati puncak tertinggi pertumbuhan mereka.
Periode pubertas yang ditandai dengan menstruasi umumnya dimulai pada usia 12
13 tahun. Anak laki laki memasuki masa pubertas dengan ejakulasi yang terjadi
antara usia 13 16 tahun.
Perkembangan
fisik selama remaja dimulai dari masa pubertas. Pada masa ini terjadi perubahan
fisiologis yang mengubah manusia yang belum mampu bereproduksi menjadi mampu
bereproduksi. Hampir setiap organ atau sistem tubuh dipengaruhi oleh perubahan
perubahan ini. Anak pubertas awal (prepubertal) dan remaja pubertas akhir
(postpubertal) berbeda dalam tampakan luar karena perubahan perubahan dalam
tinggi proporsi badan serta perkembangan ciri ciri seks primer dan sekunder.
Meskipun urutan
kejadian pubertas itu umumnya sama untuk tiap orang, waktu terjadinya dan
kecepatan berlangsungnya kejadian itu bervariasi. Rata rata anak perempuan
memulai perubahan pubertas 1,5 hingga 2 tahun lebih cepat dari anak laki laki.
Kecepatan perubahan itu juga bervariasi, ada yang perlu waktu 1,5 hingga 2
tahun untuk mencapai kematangan reproduksi, tetapi ada yang memerlukan waktu 6
tahun. Dengan adanya perbedaan perbedaan ini ada anak yang telah matang sebelum
anak matang yang sama usianya mulai mengalami pubertas.
2. Perkembangan
Sosio emosional Anak/Siswa
Menjelang masuk
SD, anak telah rnengembangkan keterampilan berpikir bertindak dan pengaruh
sosial yang lebih kompleks. Sampai dengan masa ini, anak pada dasarnya
egosentris (berpusat pada diri sendiri), dan dunia mereka adalah rumah
keluarga, dan taman kanak kanaknya.
Selama duduk di
kelas kecil SD, anak mulai percaya diri tetapi juga sering rendah diri. Pada
tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka "dewasa".
Mereka merasa "saya dapat mengerjakan sendiri tugas itu, karenanya tahap
ini disebut tahap 'I can do it my self'. Mereka dimungkinkan untuk diberikan
suatu tugas.
Daya konsentrasi
anak tumbuh pada kelas kelas tinggi SD. Mereka dapat meluangkan lebih banyak
waktu untuk tugas tugas pilihan mereka, dan seringkali mereka dengan senang
hati menyelesaikannya. Tahap ini juga termasuk tumbuhnya tindakan mandiri,
kerjasama dengan kelompok, dan bertindak menurut cara cara yang dapat diterima
lingkungan mereka. Mereka juga mulai peduli pada permainan yang jujur. Selama
masa ini mereka juga mulai menilai diri mereka sendiri dengan membandingkannya
dengan orang lain. Anak anak yang lebih muda menggunakan perbandingan sosial
(social comparison) terutama untuk norma norma sosial dan kesesuaian jenis
jenis tingkah laku tertentu. Pada saat anak anak tumbuh semakin lanjut, mereka
cenderung menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan menilai
kemampuan kemampuan mereka sendiri.
Sebagai akibat
dari perubahan struktur fisik dan kognitif mereka, anak pada kelas besar di SD
berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai orang
dewasa.Terjadi perubahan perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial dan
emosional mereka. Di kelas besar SD anak laki laki dan perempuan menganggap
keikutsertaan dalam kelompok menumbuhkan perasaan bahwa dirinya berharga. Tidak
diterima dalam kelompok dapat membawa pada masalah emosional yang serius Teman
teman mereka menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Kebutuhan untuk
diterima oleh teman sebaya sangat tinggi. Remaja sering berpakaian serupa.
Mereka menyatakan kesetiakawanan mereka dengan anggota kelompok teman sebaya
melalui pakaian atau perilaku.
Hubungan antara
anak dan guru juga seringkali berubah. Pada saat di SD kelas rendah, anak
dengan mudah menerima dan bergantung kepada guru. Di awal awal tahun kelas
tinggi SD hubungan ini menjadi lebih kompleks. Ada siswa yang menceritakan informasi pribadi
kepada guru, tetapi tidak mereka ceritakan kepada orang tua mereka. Beberapa
anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model. Sementara itu, ada beberapa
anak membantah guru dengan cara cara yang tidak mereka bayangkan beberapa tahun
sebelumnya. Malahan, beberapa anak mungkin secara terbuka menentang gurunya.
Salah satu tanda
mulai munculnya perkembangan identitas remaja adalah reflektivitas yaitu
kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang sedang berkecamuk dalam benak
mereka sendiri dan mengkaji diri sendiri. Mereka juga mulai menyadari bahwa ada
perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan serta bagaimana
mereka berperilaku. Mereka mulai mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan.
Remaja mudah dibuat tidak puas oleh diri mereka sendiri. Mereka mengkritik
sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba
untuk mengubah perilaku mereka. Pada remaja usia 18 tahun sarnpai 22 tahun,
urnumnya telah rnengembangkan suatu status pencapaian identitas.
RINGKASAN
Pada anak
perempuan sekitar kelas 6 SD, sudah mencapai puncak lonjakan tinggi badan pada
umur (10,5 13,5) tahun dan sudah mulai menstruasi umur (10,5 15,5) tahun.
Sementara itu pada anak laki laki puncak lonjakan tinggi badan tercapai
(12,515,5) tahun serta mereka juga sudah dewasa pada alat reproduksinya pada
umur (12 16) tahun yaitu dengan ditandainya penyemburan pertama air mani.
Perkembangan
sosio emosional, pada anak permulaan masuk SD mulai mengembangkan keterampilan
berpikir, bertindak, dan pengaruh sosial yang lebih kompleks. Seiring
bertambahnya kelas dan dengan berlangsungnya pendidikan dan pengajaran di
sekolah, anak semakin rnengembangkan konsentrasi dalam mengerjakan sesuatu
termasuk mengerjakan tugas sekolah, mengevaluasi diri sendiri dibandingkan
dengan orang lain. Pada akhir SMP anak sudah mencapai perkembangan sosio
emosional yang lebih stabil dan sudah mengembangkan status pencapaian
identitas.
Pendidikan dan Gender
Muhammad Faiq Dzaki
Pendidikan yang
bermutu membangun rasa percaya diri baik pada anak perempuan maupun lakilaki,
dan membantu mereka mengembangkan potensi diri. Dalam masyarakat yang adil,
anak perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama, namun kadang-kadang
hak-hak anak perempuan terhadap pelayanan pendidikan terabaikan. Padahal,
pentingnya perempuan yang berpendikan dalam pembangunan masyakarat sudah tidak
disangkal lagi.
Perempuan yang
berpendidikan lebih mampu membuat keluarganya lebih sehat dan memberikan
pendidikan yang lebih bermutu pada anaknya, Selain itu perempuan berpendidikan
lebih memiliki peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sebaliknya,
perempuan yang pendidikannya kurang akan lebih rentan terhadap tindak kekerasan
(fisik maupun non fisik), dan memiliki tingkat kesehatan dan ekonomi yang
cenderung lebih rendah.
Seringkali
secara tidak sengaja, guru membedakan murid perempuan dan laki-laki karena guru
berpendapat bahwa murid perlu diperlakukan secara khusus menurut peran yang
didasarkan pada jenis kelamin. Padahal asumsi tentang peran perempuan dan
laki-laki yang dipegang oleh guru bisa mengakibatkan ketidakadilan dalam
memberikan layanan pendidikan yang terbaik bagi murid laki dan perempuan. Tentu
saja penting menghargai perbedaan antara anak perempuan dan laki, asal
pembedaan itu tidak mengakibatkan pembatasan terhadap kesempatan anak perempuan
maupun laki dalam mengembangkan potensi mereka
Interaksi Sebagai Proses Belajar Mengajar
Muhammad Faiq
Dzaki
Dalam
keseluruhan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah berlang-sung interaksi
guru dan siswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan kegiatan paling
pokok. Jadi proses belajar mengajar merupakan proses kegiatan interaksi antara
dua unsur manusiawi yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai
pihak yang mengajar. Dalam proses interaksi tersebut dibutuhkan komponen
pendukung (ciri-ciri interaksi edukatif) yaitu (1) Interaksi belajar mengajar
memiliki tujuan : yakni untuk membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu.
Interaksi belajar mengajar sadar tujuan, dengan menempatkan siswa sebagai pusat
perhatian siswa mempunyai tujuan, (2) Ada
suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai
tujuan yang telah dilaksanakan. Dalam melakukan interaksi perlu adanya
prosedur, atau langkah-langkah sistematik yang relevan, (3) Interaksi belajar
mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Materi didesain
sehingga dapat mencapai tujuan dan dipersiapkan sebelum berlangsungnya
interaksi belajar mengajar, (4) Ditandai dengan adanya aktivitas siswa. Siswa
sebagai pusat pembelajaran, maka aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi
berlangsungnya interaksi belajar mengajar, (5) Dalam interaksi belajar mengajar
guru berperan sebagai pembimbing. Guru memberikan motivasi agar terjadi proses
interaksi dan sebagai mediator dan proses belajar mengajar, (6) dalam interaksi
belajar mengajar membutuhkan disiplin. Langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai
dengan prosedur yang sudah ditentukan, (7) Ada batas waktu. Setiap tujuan diberi waktu
tertentu, kapan tujuan itu harus dicapai, (8) Unsur penilaian. Untuk mengetahui
apakah tujuan sudah tercapai melalui interaksi belajar mengajar.( Titin,
2003:10)
Jadi dapat
disimpulkan bahwa dalam mengelola interaksi belajar mengajar guru harus
memiliki kemampuan mendesain program, menguasai materi pelajaran, mampu
menciptakan kondisi kelas yang kondusif, terampil memanfaatkan media dan
memilih sumber, memahami cara atau metode yang digunakan, memiliki keterampilan
mengkomunikasikan program serta memahami landasan-landasan pendidikan sebagai
dasar bertindak.
Ketika sedang
mengajar di depan kelas, terjadi dua proses yang terpadu yaitu proses belajar
mengajar. Seorang pengajar dapat mengartikan belajar sebagai kegiatan
pengumpulan fakta atau juga dapat dikatakan bahwa belajar merupakan suatu
proses penerapan prinsip.
Gagne (dalam
Abdillah dan Abdul,1988 :17) mengatakan bahwa belajar merupakan suatu proses
yang dapat dilakukan oleh makhluk hidup yang memungkinkan makhluk hidup ini
merubah perilakunya cukup cepat dalam cara kurang lebih sama, sehingga
perubahan yang sama tidak harus pada setiap situasi baru. Sedangkan Dahar (1988
:11) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses dimana organisme perilakunya
sebagai akibat pengalaman. Belajar bukanlah menghafalkan fakta-fakta yang
terlepas-lepas, melainkan mengaitkan konsep yang baru dengan konsep yang telah
ada dalam struktur kognitif, atau mengaitkan konsep pada umumnya menjadi
proposisi yang bermakna.
Merujuk pada
kaum kontruktivis bahwa belajar merupakan proses aktif dalam mengkonstruksi
arti teks, dialog, pengalaman fisik, dll. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman
atau apa yang dipelajari dengan apa yang sudah dipunyai seseorang. (Suparno P ,
1997 :61)
Berdasarkan
beberapa pendapat tentang belajar tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu secara sadar untuk
memperoleh perubahan tingkah laku tertentu baik yang dapat diamati secara
langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung sebagai pengalaman
(latihan) dalam interaksinya dengan lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa
belajar sebagai suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungan dan menghasilkan perubahan dalam pengetahuan
dan pemahaman, keterampilan serta nilai-nilai dan sikap.
Belajar fisika dalam
kerangka pengajaran dan pendidikan di sekolah adalah proses aktivitas siswa
arahan dan bimbingan untuk mempelajari materi mata pelajaran fisika. Melalui
kegiatan belajar fisika siswa diharapkan memperoleh pengertian tentang
fakta-fakta, konsep fisika, prinsip, hukum, metode ilmiah dan sikap ilmiah
serta saling keterkaitan antar komponen-komponen itu. Selanjutnya semua hal
yang dipelajari tersebut diharapkan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata dan
dapat digunakan untuk mempelajari perkembangan sains dan teknologi.
Blog dengan ID
33471 Tidak ada
Mengajar
bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu
kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar
berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,
mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar
adalah suatu bentuk belajar sendiri. (Bettencournt, 1989 dalam Suparno P,1997
:65)
Proses belajar
harus tumbuh dan berkembang dari diri anak sendiri, dengan kata lain anak-anak
yang harus aktif belajar sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing. Pandangan
ini pada dasarnya mengemukakan bahwa mengajar adalah membimbing kegiatan
belajar anak. ”Teaching is the guidance of learning activities, teaching is for
the purpose of aiding the pupil learn” ……. ( Hamalik ,2002:58)
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa belajar mengajar merupakan proses kegiatan komunikasi dua
arah. Proses belajar mengajar merupakan kegiatan yang integral (terpadu) antara
siswa sebagai pelajar yang sedang belajar dengan guru sebagai pengajar yang
sedang mengajar. Selanjutnya proses belajar mengajar merupakan aspek dari
proses pendidikan.
Berdasarkan
orientasi proses belajar mengajar siswa harus ditempatkan sebagai sujek belajar
yang sifatnya aktif dan melibatkan banyak faktor yang mempengaruhi, maka
keseluruhan proses belajar yang harus dialami siswa dalam kerangka pendidikan
di sekolah dapat dipandang sebagai suatu sistem, yang mana sistem tersebut
merupakan kesatuan dari berbagai komponen (input) yang saling berinteraksi
(proses) untuk menghasilkan sesuatu dengan tujuan yang telah ditetapkan
(output).
Pustaka:
Abdillah, H. dan
Abdul, M. 1988. Prinsip-prinsip Belajar untuk Pengajaran. Surabaya Indonesia : Usaha Nasional.
Motivasi Belajar – Upaya untuk Meningkatkan
Muhammad Faiq
Dzaki
Upaya untuk
meningkatkan motivasi belaja siswa yang dapat dilakukan yaitu:
Optimalisasi
penerapan prinsip belajar.
Kehadiran siswa
di kelas merupakan awal dari motivasi belajar. Untuk meningkatkan motivasi
belajar siswa merupakan bimbingan tindak pembelajaran bagi guru. Dalam upaya
pembelajaran, guru harus berhadapan dengan siswa dan menguasai seluk beluk
bahan yang diajarakan kepada siswa. Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa
prinsip pembelajaran. Beberapa prinsip pembelajaran tersebut antara lain
sebagai berikut:
Belajar menjadi
bermakna jika siswa memahami tujuan belajar, oleh karena itu guru harus
menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis.
Belajar menjadi
bermakna bila siswa dihadapkan pada pemecahana masalah yang menantangnya, oleh
karena itu peletakan urutan masalah yang menantang harus disusun guru dengan
baik.
Belajar menjadi
bermakna bila guru mampu memusatkan segala kemampuan mental siswa dalam program
kegiatan tertentu oleh karena itu guru sebaiknya membuat pembelajaran dalam
pengajaran unit atau proyek.
Kebutuhan bahan
belajar siswa semakin bertambah, oleh karena itu guru perlu mengatur bahan dari
yang paling sederhana sampai paling menantang.
Belajar menjadi
menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai belajarnya
bagi kehidupan dikemudian hari, oleh karena itu guru perlu memberi tahukan
kriteria keberhasilan atau kegagalan belajar.
Optimalisasi
unsur dinamis belajar dan pembelajaran
Unsur-unsur yang
ada di lingkungan maupun dalam diri siswa ada yang mendorong dan ada yang
menghambat kegiatan belajar. Oleh karena itu guru yang lebih memahami
keterbatasan waktu bagi siswa dapat mengupayakan optimalisasi unsur-unsur
dinamis tersebut dengan jalan :
Pemberian
kesempatan pada siswa untuk mengungkap hambatan belajar yang dialaminya.
Memelihara
minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar.
Meminta
kesempatan pada orang tua atau wali, agar memberi kesempatan kepada siswa untuk
beraktualisasi diri dalam belajar.
Memanfaatkan
unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar.
Menggunakan
waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku
belajar.
Guru merangsang
siswa dengan penguat memberi rasa percaya diri.
Optimalisasi
pemanfaatan pengalaman dan kemampuan siswa
Guru wajib
menggunakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam mengelola siswa
belajar. Upaya optimalisasi pemanfaatan pengalaman siswa tersebut dapat
dilakukan sebagai berikut :
1) Siswa
ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya dan bertanya kepada guru apa yang
mereka tidak mengerti.
2) Guru
mempelajari hal-hal yang sukar bagi siswa.
3) Guru
memecahkan hal-hal yang sukar.
4) Guru
mengajarkan cara memecahkan kesukaran tersebut dan mendidik kebenaran mengatasi
kesukaran.
5) Guru mengajak
siswa mengalami dan mengatasi kesukaran.
6) Guru memberi
kesempatan siswa untuk menjadi tutor sebaya.
7) Guru memberi
penguatan kepada siswa yang berhasil mengatasi kesukaran belajarnya sendiri.
8) Guru
menghargai pengalaman dan kemampuan
siswa agar
belajar secara mandiri.
Pengembangan
cita-cita dan aspirasi belajar
Pengembangan
cita-cita belajar dilakukan sejak siswa masuk sekolah dasar. Pengembangan
cita-cita tersebut ditempuh dengan jalan membuat kegiatan belajar sesuatu.
Penguat berupa hadiah diberikan pada setiap siswa yang berhasil. Sebaliknya
dorongan keberanian untuk memiliki cita-cita diberikan kepada siswa yang
berasal dari semua lapisan masyarakat
KARAKTERISTIK
DAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK USIA
SEKOLAH DASAR
Oleh Nursidik Kurniawan,
A.Ma.Pd.SD
Karakteristik
pertama anak SD adalah senang bermain. Karakteristik ini menuntut guru SD untuk
melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan lebih – lebih untuk
kelas rendah. Guru SD seyogyanya merancang model pembelajaran
yang memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya
mengembangkan model pengajaran yang serius tapi santai. Penyusunan jadwal
pelajaran hendaknya diselang saling antara mata pelajaran serius seperti IPA,
Matematika, dengan pelajaran yang mengandung unsur permainan seperti pendidikan
jasmani, atau Seni Budaya dan Keterampilan (SBK).
Karakteristik
yang kedua adalah senang bergerak, orang dewasa dapat duduk berjam-jam,
sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh
karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak
berpindah atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu yang
lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
Karakteristik
yang ketiga dari anak usia SD adalah anak senang bekerja dalam kelompok. Dari
pergaulanya dengan kelompok sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting dalam
proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar
setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar
menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat
(sportif), mempelajarai olah raga dan membawa implikasi bahwa guru harus
merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar
dalam kelompok, serta belajar keadilan dan demokrasi. Karakteristik ini membawa
implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak
untuk bekerja atau belajar dalam kelompok.
Guru dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil dengan anggota
3-4 orang untuk mempelajari atau menyelesaikan suatu tugas secara kelompok.
Karakteristik
yang keempat anak SD adalah senang merasakan atau melakukan/memperagakan
sesuatu secara langsung. Ditunjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD
memasuki tahap operasional konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia
belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama. Berdasar
pengalaman ini, siswa membentukkonsep-konsep tentang angka, ruang, waktu,
fungsi-fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Bagi anak SD,
penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih dipahami jika anak
melaksanakan sendiri, sama halnya dengan memberi contoh bagi orang dewasa.
Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan
anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan
lebih memahami tentang arah mata angina, dengan cara membawa anak langsung
keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angina, bahkan dengan
sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angina
saat itu bertiup.
Di samping
memperhatikan karakteristik anak usia SD, implikasi pendidikan dapat juga
bertolak dari kebutuhan peserta didik. Pemaknaan kebutuhan SD dapat
diidentifikasi dari tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan
adalah tugas-tugas yang muncul pada saat atau suatu periode tertentu dari
kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan
membawa arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, sementara
kegagalan dalam melaksanakan tugas tersebut menimbulkan rasa tidak bahagia,
ditolak oleh masyarakat dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Tugas-tugas
perkembangan yang bersumber dari kematangan fisik diantaranya adalah belajar
berjalan, belajar melempar mengangkap dan menendang bola, belajar menerima
jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya,. Beberapa tugas pekembangan terutama
bersumber dari kebudayaan seperti belajar membaca, menulis dan berhitung,
belajar tanggung jawab sebagai warga negara. Sementara tugas-tugas perkembangan
yang bersumber dari nilai-nlai kepribadian individu diantaranya memilih dan
mempersiapkan untuk bekerja, memperoleh nilai filsafat dalam kehidupan.
Anak usia SD
ditandai oleh tiga dorongan ke luar yang besar yaitu (1)kepercayaan anak untuk
keluar rumah dan masuk dalam kelompok sebaya (2)kepercayaan anak memasuki dunia
permainan dan kegiatan yang memperlukan keterampilan fisik, dan (3) kepercayaan
mental untuk memasuki dunia konsep, logika, dan ligika dan simbolis dan
komunikasi orang dewasa.
Dengan demikian
pemahaman terhadap karakteristik peserta didik dan tugas-tugas perkembangan
anak SD dapat dijadikan titik awal untuk menentukan tujuan pendidikan di SD,
dan untuk menentukan waktu yang tepat dalam memberikan pendidikan sesuai dengan
kebutuhan perkembangan anak itu sendiri
Karakteristik
Siswa Sekolah Dasar
« on: 02 February 2010 , 12:26 »
Masa usia
sekolah dasar sebagai mesa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam
tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik
utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan
individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam
intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan
perkembangan fisik anak.
Menurut Erikson
perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai memasuki
dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini
anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di
samping itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah.
Sedang menurut
Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang,
barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar
sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik.
Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial
meningkat. Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama
yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku
mendekati tingkah laku anak remaja permulaan.
Menurut Piaget
ada lima faktor
yang menunjang perkembangan intelektual yaitu : kedewasaan (maturation),
pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika matematika (logical
mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan proses
keseimbangan (equilibriun) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation )
Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian
hasil belajar.
Mereka
mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang baik
dan relevan. Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan
kemampuan dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan
kegagalan atau ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap
dirinya sendiri, sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget
mengidentifikasikan tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu :
(a) tahap sensorik motor usia 0-2 tahun, (b) tahap operasional usia 2-6 tahun,
(c) tahap opersional kongkrit usia 7-11 atau 12 tahun, (d) tahap operasional formal usia 11 atau 12
tahun ke atas.
Berdasarkan
uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit,
pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada
fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih
terbatas pada objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.
Bertitik tolak
pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini
menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses
berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal
yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih
berpijak pada prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari
hal-hal yang dapat diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia
pengetahuan.
Pada usia ini
mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di lingkungan
sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di dalam
lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi
sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat
terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin
tahu dan ingin belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap
hal-hal dan mata pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor
ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor, (4) pada umumnya anak
menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikan sendiri, (5)
pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat
mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk kelompok
sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.
Seperti
dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang
mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun
pertumbuhan badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing
aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat
pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan
adanya perbedaan individual pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam
usia yang sama.
Dengan
karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk
dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada
siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar
kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak
abstrak dan lebih bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi
kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara
individual maupun dalam kelompok.
Karakteristik
Siswa Sekolah Dasar
17 Mei 2009
7.400 views No Comment
Masa usia
sekolah dasar sebagai mesa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam
tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik
utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan
individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam
intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan
perkembangan fisik anak.
Menurut Erikson
perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai memasuki
dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini
anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di
samping itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah.
Sedang menurut
Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang,
barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar
sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik.
Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial
meningkat. Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama
yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku
mendekati tingkah laku anak remaja permulaan.
Menurut Piaget
ada lima faktor
yang menunjang perkembangan intelektual yaitu : kedewasaan (maturation),
pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika matematika (logical
mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan proses
keseimbangan (equilibriun) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation )
Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian
hasil belajar.
Mereka
mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang baik
dan relevan. Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan
kemampuan dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan
kegagalan atau ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap
dirinya sendiri, sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget
mengidentifikasikan tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu :
(a) tahap sensorik motor usia 0-2 tahun, (b) tahap operasional usia 2-6 tahun,
(c) tahap opersional kongkrit usia 7-11 atau 12 tahun, (d) tahap operasional formal usia 11 atau 12
tahun ke atas.
Berdasarkan
uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit,
pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta
perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada
objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.
Bertitik tolak
pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini
menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses
berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal
yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih
berpijak pada prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari
hal-hal yang dapat diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia
pengetahuan.
Pada usia ini
mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di
lingkungan sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang
nyata di dalam lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa
kelas tinggi sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1)
adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat
realistik, ingin tahu dan ingin belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada
minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti
teori faktor ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor, (4) pada
umumnya anak menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikan
sendiri, (5) pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran
yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk
kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.
Seperti
dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang
mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun
pertumbuhan badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing
aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat
pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan
adanya perbedaan individual pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam
usia yang sama.
Dengan
karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk
dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada
siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar
kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak
abstrak dan lebih bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi
kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara
individual maupun dalam kelompok. Semoga
Perlu Diketahui
Guru
7 Maret 2010 243
views No Comment
KITA banyak
sudah berbicara tentang model pembelajaran kontekstual, kita juga sudah
berbicara perbedaan antara model pembelajaran kontekstual dengan model
pembelajaran tradisional, kita sudah beberkan pula keuntungan dan kelebihan
dari model pembelajaran kontekstual.
Tidak hanya
sampai di situ, dari banyak penelitian dan hasil kajian dari Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan, baik oleh dosen, LSM, guru maupun
mahasiswa, menunjukkan bahwa model pembelajaran kontekstual dapat kita lakukan
di dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya dari
hasil penelitian yang telah dilaksanakan, bahwa model pembelajaran kontekstual
hasil belajar siswa, motivasi siswa dalam belajar, sikap siswa dalam belajar,
keterampilan kritis dan keterampilan sosial para pelajar lebih baik
dibandingkan dengan model pembelajaran tradisional yang dilaksanakan oleh guru.
Banyak para
peneliti menyampaikan rekomendasinya kepada pengambil kebijakan katakanlah
birokrasi pendidikan untuk memberikan pernjelasan dan sosialisasi kepada guru
supaya guru menggunakan model pembelajaran kontekstual ini dalam
pembelajarannya, dan sudah waktunya guru meninggalkan model-model pembelajaran
yang ku-rang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif, kreatif dan
inovatif. Dengan upaya-upaya yang sudah dilakukan, baik oleh peneliti,
pengambil kebijakan, pelaksana pendidikan, akan dapat memberikan dampak dan
upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pelaksanaan
pembelajaran kontekstual ini dapat dilakukan oleh semua guru tanpa kecuali,
kemudian dapat dilakukan terhadap semua tingkat dan jenis pendidikan. Tentunya
masalah dan konsep yang diketengahkan harus sesuai dengan tingkat dan level
satuan pendidikan. Untuk tingkat pendidikan anak usia dini berbeda dengan
tingkat pendidikan dasar, demikian pula pendidikan dasar berbeda pula dengan
pendidikan menengah.
Kita berharap
kiranya pengelola pendidikan di kelas, mau dan menyadari bahwa model
pembelajaran ini baik, dan kami memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak
yang terlibat langsung dengan masalah pendidikan dan pengajaran.
Pihak-pihak
tersebut memiliki ikatan batin dan bertanggungjawab secara moral di dalam
mewujudkan pendidikan bermutu sebagaimana yang diharapkan kita bersama.
Rekomendasi yang
perlu kami sampaikan :
(1) Kepada Guru
di semua tingkat, jenis baik pada Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar
(SD/SMP, dan Pendidikan Menengah bahkan Pendidikan Tinggi hendaknya dapat
mengembangkan kualifikasi dan kualitas profesinya. Dengan demikian eksplorasi
pustaka dan eksperimen empirik tentang model pembelajaran kontekstual terus
dilaksanakan pada setiap pembelajaran yang dilakukannya.
Kreativitas
dalam melaksanakan pembelajaran diantaranya dengan menerapkan pendekatan
belajar mengajar model kontekstual atau CTL dalam setiap mata pelajaran,
(2) Kepada para
Guru disampaikan untuk senantiasa bersikap terbuka terhadap inovasi dan
merespon secara aktif dan kreatif setiap perkembangan pendidikan, sehingga apa
yang dilakukan terhadap siswa benar-benar dapat berguna, baik bagi kehidupannya
sendiri maupun orang lain,
(3) Kepada
Kepala sekolah agar dapat mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan
oleh Guru dan mengadakan pemantauan atau monitoring dan evaluasi secara rutin
dengan tujuan untuk mengingatkan para guru agar dapat melaksanakan proses
pembelajaran dengan baik serta tercapai peningkatan kegiatan pembelajar agar
lebih optimal,
(4) Kepada
Instansi atau Lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran di sekolah, disarankan untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan,
serta workshop sehingga sosialisasi dapat merata, dan tidak ada lagi guru-guru
yang tidak mengetahui dan memahami khusus tentang pelaksanaan pembelajaran
model pembelajaran kontesktual kepada para Guru, sehingga para Guru dapat
bekerja dengan lebih baik dan profesional yang nantinya dapat meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia, dan
(5) Kepada
Depdiknas, Dinas Pendidikan, Perguruan Tinggi (LPM, Lemlit, Jurusan atau
program studi yang ada di LPTK, media massa
dan lembaga lain yang terkait untuk melakukan kegiatan-kegiatan pelatihan
berkenaan dengan model pembelajaran kontekstual yang tujuannya adalah
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan guru. Semoga ***
Tak Mudah
Menjadi Guru
14 Maret 2010
211 views One Comment
AKTIVITAS proses
belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan
dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Tugas utama seseorang guru ialah
mendidik dengan menggunakan mengajar sebagai pelaksanaan tugasnya, siswa aktif
belajar sebagai dampaknya, perubahan pola pikir dan perilaku sesuai dengan yang
diharapkan sebagai hasilnya (Sahabuddin, 199S). Tanggung jawab keberhasilan
pendidikan berada di pundak guru. Olehnya itu, untuk menjadi seorang guru harus
melalui pendidikan dan latihan khusus serta dengan keahlian khusus.
Perubahan peran
guru yang tadinya sebagai penyampai penyetahuan dan pengalih pengetahuan dan
pengalih keterampilan, serta merupakan satu-satunya sumber belajar, berubah
peran menjadi pembimbing, Pembina, pengajar, dan pelatih, yang berarti
membelajarkan. Dalam kegiatan pembelajaran, guru akan bertindak sebagai
fasilisator yang bersikap akrab dengan penuh tanggung jawab, serta
memperlakukan peserta didik sebagai mitra dalam menggali dan mengolah informasi
menuju tujuan belajar mengajar yang telah direncanakan (Tangyong, 1996).
Beratnya
tanggung jawab bagi guru menyebabkan pekerjaan guru harus memerlukan keahlian
khusus. Untuk itu pekerjaan guru tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang
diluar bidang pendidikan, sehingga profesi guru paling mudah terkena
pencemaran.
Guru dalam
melaksanakan tugas profesinya diperhadapkan pada berbagai pilihan, seperti cara
bertindak bagaimana yang paling tepat, bahan belajar apa yang paling sesuai,
metode penyajian bagaimanayang paling efektif, alat bantu apa yang paling
cocok, langkah-langkah apa yang paling efisien, sumber belajar mana yang paling
lengkap, system evaluasi apa yang paling tepat, dan sebagainya (Sahabuddin,
1995).
Guru sebagai
pelaksana tugas otonom, harus dapat menentukan pilihannya dengan mempertimbangkan
semua aspek yang relevan atau menunjang tercapainya tujuan. Dalam hal ini gugu
bertindak sebagai pengambil keputusan.
Guru sebagai
pihak yang ber-kepentingan secara operasional dan mental harus dipersiapkan dan
ditingkatkan profesionalnya, karena hanya dengan demikian kinerja mereka dapat
efektif, Apabila kinerja guru efektif maka tujuan pendidikan akan tercapai.
Yang dimaksud dengan profesionalisme disini adalah kemampuan dan keterampilan
guru dalam merencanakan, melaksanakan pengajaran dan keterampilan guru
merencanakan dan melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa.
Mengingat
pentingnya profesionalisme guru dalam pencapaian tujuan pendidikan utamanya
pada skala tingkat institusional, maka perlu adanya pelatihan dan
profesionalisme guru, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang bisa
dijadikan masukan dalam membuat dan melaksanakan kebijakan di bidang pendidikan
terutama pada tingkat sekolah dasar sampai menengah baik negeri maupun swasta.
Sejalan dengan
itu berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan
profesionalisme guru Upaya tersebut antara lain direalisasikan melalui berbagai
macam pelatihan. Hasil penelitian yang mengkaji tentang profesionalisme guru
seperti dilakukan oleh Tomajahu (2002), menunjukkan adanya perbedaan kemampuan
kompetisi mengajar guru yang sering mengikuti pelatihan dengan yang jarang
serta pengalaman kerja guru dalam mempengaruhi kompetensinya.
Motivasi lain
yang mendorong perlunya dilakukan pelatihan, pelatihan tersebut sangat berkait
erat dengan bidang ilmu yang ditekuni, selanjutnya pelatihan hendaknya
difokuskann kepada proses pembelajaran, metodologi pembelajaran, pendayagunaan
ICT, pelaksanaan system evaluasi. Tak kalah pentingnya adalah pelatihan yang
berkaitan dengan pelaksanaan kurikulum yang berlaku, dan saat ini sedang
di-kembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kita menyadari bahwa
kurikulum tingkat satuan pendidikan belum seluruhnya diketahui oleh guru. Batas
waktu implementasi secara menyeluruh ditetapkan pada tahun 2009. Maka kiranya
akan menjadi perhatian pemerintah dan pemerintah daerah, sehingga pada waktu
diterapkan semua persoalan tentang kurkulum ini tidak menimbulkan masalah lagi.
Selanjutnya,
tentunya pelatihan yang berkenaan dengan silabus dan perangkat lainnya, karena
kita menginginkan ke depan guru kita lebih professional, dan guru diharapkan
memiliki kemampuan untuk menjalankan
fungsi dan perannya sebagai
seorang professional. Semoga ***
Prosedur
Pembelajaran Kontekstual
28 Februari 2010
462 views No Comment
SETIAP siswa
memiliki gaya
belajar sendiri. Bobbi Deporter (1992) menyebutkan hal itu sebagai unsur
modalitas belajar. Menurutnya ada tiga belajar pada tiap diri siswa dimana tiap
orang memiliki kecenderungan terhadap salah satunya. Ketiga hal itu adalah visual,
auditorial, dan kinestetis. Siswa yang memiliki kece-nderungan visual akan
cenderung belajar dengan cara melihat. Siswa dengan kecenderungan auditorial
akan lebih tertarik untuk belajar dengan mendengarkan suara-suara. Sementara
siswa dengan karakter kinestetis akan lebih tertarik untuk praktek dengan
me-lakukan suatu kegiatan atau menyentuh secara langsung.
Dalam
pembelajaran kontekstual, guru dituntut untuk dapat memahami karakteristik
belajar siswa sehingga siswa dapat belajar dengan gayanya masing-masing. Dalam
pembelajaran konvensional, guru sering lupa memperhatikan hal ini. Sehingga
yang terjadi adalah apa yang dikatakan Oleh Paulo Freire sebagai pemaksaan
kehendak.Sehubungan dengan itu, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan
oleh guru ketika akan menerapkan model belajar pembelajaran kontekstual, yakni
:
Pertama, siswa harus dipandang sebagai manusia yag
sedang berkembang dan bukan sebagai orang dewasa dalam ukuran kecil. Kemampuan
belajar siswa sangat dipengaruhi oleh level perkembangan siswa sehingga kita
tidak boleh memberikan pelajaran yang tidak sesuai dengan level perkembangan
siswa tersebut. Dengan demikian guru tidak bertindak sebagai penguasa dalam
sebuah pembelajaran, namun ia berperan sebagai pembimbing siswa dalam membimbing
mereka sesuai dengan level perkembangannya.
Kedua, setiap anak memiliki kecenderungan untuk
mencoba hal yang baru. Mereka akan senang jika mendapat tantangan-tantangan
yang baru. Oleh karena itu, guru berperan sebagai pemilih objek baru dan
menantang yang akan dipelajari oleh siswa. Ketiga, belajar bagi siswa adalah
mengaitkan hal-hal yang telah dikuasi dengan informasi baru yang mereka
dapatkan. Dengan demikian tugs guru adalah untuk mengaitkan informasi yang
telah ada pada siswa dengan hal baru yang ia pelajari. Keempat, belajar
merupakan proses penyempurnaan skema yang sudah ada pada diri siswa (asimilasi)
dan membuat skema yang baru (akomodasi). Dengan demikian guru bertugas untuk
membantu melakukan proses asimilasi dan akomodasi.
Dalam
pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan
kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa
yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan
dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk
mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran,
dan authentic assessmennya.Dalam konteks itu, prosedur atau program yang
dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya
bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara
program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual.
Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran
konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas
dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih
menekankan pada skenario pembelajarannya. Atas dasar itu, saran pokok dalam
prosedur atau penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis
kontekstual adalah sebagai berikut:
(a) Nyatakan
kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang
merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok
dan Pencapaian Hasil Belajar,
(b) Nyatakan
tujuan umum pembelajarannya,
(c) Rincilah
media untuk mendukung kegiatan itu,
(d) Buatlah
skenario tahap demi tahap kegiatan siswa,
(e) Nyatakan
authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati
partisipasinya dalam pembelajaran.Dengan mengetahui dan memahami prosedur
pelaksanaan atau implementasi model pembelajaran kontekstual oleh guru, maka
akan memudahkan bagi guru untuk menerapkan model pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran yang dilakukannya. Prsedur yang dikemuakan di atas, bukanlah harga
mati dan kaku, guru boleh mencari dan menambah tahapan atau konsep lainnya,
sehingga lebih memperkaya dan memperluas prosedur pelaksanaan model
pembelajaran kontektual ini. Semoga.***
Teori
Pembelajaran Piaget
11 Oktober 2009
2.269 views One Comment
Satu lagi teori
pembelajaran yang dapat digunakan sebagai landasan dalam model cooperative
learning. Menurut Piaget (Dahar 1996; Hasan 1996; Surya 2003), setiap individu
mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut:
(1) Tingkat
Sensorimotor (0-2 tahun). Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya
melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini
semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan,
bayi memiliki pengetahuan object permanence yaitu walaupun objek pada suatu
saat tak terlihat di depan matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum
usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti
tak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas
dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya.
(2) Tahap
Preoporational (2-7 tahun). Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir sebelum
bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan
berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap
egosentris, di mana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat
obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan
orang lain. Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap
preporational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama
memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walau bentuknya berubah-ubah.
Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar
jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya
kata-kata.
(3). Tahap
Concrete (7-11 thn). Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki
kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun
suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap.
Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga
mereka tidak se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini
masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga
mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat
konkrit. Aktifitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung
sangat efektif dibandingkan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata).
(4) Tahap Formal
Operations (11 tahun ke atas). Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada
pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung
konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau
dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal
operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan
yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis
dan logis.
Walaupun pada
mulanya, Piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun, hampir semua
remaja akan mencapai tahap perkembangan formal operation ini. Namun kenyataan
membuktikan bahwa banyak siswa SMU bahkan sebagian orang dewasa sekali pun
tidak memiliki kemampuan berpikir dalam tingkat ini.
Dalam
perkaitannya dengan pembelajaran, teori ini berpedoman kepada kegiatan
pembelajaran yang mesti melibatkan siswa. Menurut teori ini, pengetahuan tidak
hanya sekadar dipindahkan secara lisan, tetapi mesti dikonstruksi dan
dikonstruksi semula siswa. Sebagai realisasi teori ini, maka dalam kegiatan
pembelajaran siswa ia mestilah bersifat aktif. Pembelajaran koperatif adalah
sebuah model pembelajaran aktif dan bekerjasama. Pada masa ini, siswa telah
menyesuaikan diri dengan realiti konkrit dan harus berpengetahuan. Oleh sebab
itu, dalam usaha meningkatkan kualiti kognitif siswa, guru dalam melaksanakan
pembelajaran mesti lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan masalah atau latihan
meneliti dan menemukan (Semiawan 1990). Selanjutnya, diungkap pembelajaran
koperatif bahwa pembentukan minda dengan pengetahuan hafalan dan latihan
(drill) yang berlebihan, selain tidak mewujudkan peningkatan perkembangan
kognitif yang optimal.
Menurut Surya (2003), perkembangan kognitif pada peringkat ini
merupakan ciri perkembangan remaja dan dewasa yang menuju ke arah proses
berfikir dalam peringkat yang lebih tinggi. Peringkat berfikir ini sangat
diperlukan dalam pemecahan masalah. Proses pembelajaran akan berhasil apabila
disesuaikan dengan peringkat perkembangan kognitif siswa. Siswa hendaklah
banyak diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fizikal, yang
disokong dengan interaksi sesama rekan sebaya.***
Anak Autis
Memiliki anak yg
menderita autis memang berat. Anak penderita autis seperti seorang yg kerasukan
setan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan
emosinya. Kadang tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk
mampu mengendalikan dirinya sendiri & memiliki gerakan2 aneh yg selalu
diulang2. Selain itu dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat2
atau kondisi tertentu.
Penelitian yg
intensive di dunia medis pun dilakukan oleh para ahli. Dimulai dari hipotesis
sederhana sampai ke penelitian klinis lanjutan. Dan setelah banyak membaca
& mengamati, saya sebagai orang awam yg sederhana ini dapat menarik
kesimpulan sementara, yaitu:
Autis bukan
karena keluarga (terutama ibu yg paling sering dituduh) yg tdk dapat mendidik
penderita. Anak autis tidak memiliki minat bersosialisasi, dia seolah hidup
didunianya sendiri. Dia tidak peduli dgn orang lain. Orang lain (biasanya
ibunya) yg dekat dengannya hanya dianggap sebagai penyedia kebutuhan hidupnya.
(Baca: Teory of Mind, yg ditulis oleh seorang autis).
Jarang sekali
anak autis yg benar2 diakibatkan oleh faktor genetis. Alergi memang bisa saja
diturunkan, tapi alergi turunan tidak berkembang menjadi autoimun seperti pada
penderita autis.
Terjadi
kegagalan pertumbuhan otak yg diakibatkan oleh keracunan logam berat seperti
mercury yg banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yg
dikonsumsi ibu yg sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yg
tinggi.
Terjadi
kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yg diperlukan dalam pertumbuhan otak
tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam
lambungnya.
Terjadi autoimun
pada tubuh penderita yg merugikan perkembangan tubuhnya sendiri karena zat2 yg
bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan
tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah
kekebalan yg dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yg justru kebal terhadap
zat2 penting dalam tubuh & menghancurkannya.
Akhirnya tubuh
penderita menjadi alergi terhadap banyak zat yg sebenarnya sangat diperlukan
dalam perkembangan tubuhnya. Dan penderita harus diet ekstra ketat dengan pola
makan yg dirotasi setiap minggu. Soalnya jika terlalu sering & lama makan
sesuatu bisa menjadikan penderita alergi terhadap sesuatu itu.
Autis memiliki
spektrum yg lebar. Dari yg autis ringan sampai yg terberat. Termasuk di
dalamnya adalah hyper-active, attention disorder, dll.
Kebanyakan anak
autis adalah laki-laki karena tidak adanya hormon estrogen yg dapat
menetralisir autismenya. Sedang hormon testoteronnya justru memperparah
keadaannya. Sedikit sekali penderitanya perempuan karena memiliki hormon
estrogen yg dapat memperbaikinya.
Memang berat
& sangat sulit menangani anak penderita autis yg seperti kerasukan setan ini.
Perlu beberapa hal yg perlu diketahui, dipahami & dilakukan, yaitu:
Anak autis tidak
gila & tidak kerasukan setan. Penanganan harus dilakukan secara medis &
teratur.
Penderita autis
sebagian dapat sembuh dengan beberapa kondisi, yaitu: ditangani & terapi
sejak dini; masih dalam spektrum ringan; mengeluarkan racun atau logam berat
dalam tubuh penderita (detoxinasi).
Perlu pemahaman
& pengetahuan tentang autis & ditunjang oleh kesabaran & rasa kasih
sayang dalam keluarga penderita. Terutama bagi suami-istri karena banyak kasus
anak autis menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
Dewasa ini
penelitian yg berkesinambungan telah mencapai perkembangan yg luar biasa.
Semakin besar harapan sembuh bagi penderita.
Terapi harus
dilakukan terus menerus tidak terputus walau pun tingkat perkembangan perbaikan
kondisi penderita dirasa tidak ada.
Diet harus terus
dilakukan secara ketat, terus-menerus & sangat disiplin. Perbaikan kondisi
penderita karena diet berlangsung sangat lambat, tetapi pelanggaran diet dapat
menghancurkan semuanya dalam waktu yg sangat cepat.
Siapa yg tidak
ingin anak autisnya dapat hidup mandiri, dapat berkarya & berprestasi baik
serta dapat diterima di masyarakat? Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa
kepada Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan,
kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak
penderita autis. Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini agar dapat
membantu & mendukung proses perbaikan perkembangan penderita.
cara belajar
anak autis
Metode belajar
yang tepat bagi anak autis disesuaikan dengan usia anak serta, kemampuan serta
hambatan yang dimiliki anak saat belajar, dan gaya belajar atau learning style
masing-masing anak autis. Metode yang digunakan biasanya bersifat kombinasi
beberapa metode. Banyak, walaupun tidak semuanya, anak autis yang berespon
sangat baik terhadap stimulus visual sehingga metode belajar yang banyak
menggunakan stimulus visual diutamakan bagi mereka. Pembelajaran yang
menggunakan alat bantu sebagai media pengajarannya menjadi pilihan. Alat Bantu
dapat berupa gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll. Pada bulan-bulan
pertama ini sebaiknya anak autis didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi
sebagai guru pembimbing khusus
Kartono (2000)
berpendapat bahwa Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara
total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim
dengan fikiran dan fantasi sendiri.
upratiknya
(1995) menyebutkan bahwa penyandang autis memiliki ciri-ciri yaitu penderita
senang menyendiri dan bersikap dingin sejak kecil atau bayi, misalnya dengan
tidak memberikan respon ( tersenyum, dan sebagainya ), bila di ‘liling’, diberi
makanan dan sebagainya, serta seperti tidak menaruh perhatian terhadap
lingkungan sekitar, tidak mau atau sangat sedikit berbicara, hanya mau
mengatakan ya atau tidak, atau ucapan-ucapan lain yang tidak jelas, tidak suka
dengan stimuli pendengaran ( mendengarkan suara orang tua pun menangis ),
senang melakukan stimulasi diri, memukul-mukul kepala atau gerakan-gerakan aneh
lain, kadang-kadang terampil memanipulasikan obyek, namun sulit menangkap.
Kartono (1989)
berpendapat bahwa Autisma/Autisme adalah cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan
personal atau diri sendiri, menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan
harapan sendiri dan menolak realitas, oleh karena itu menurut Faisal Yatim
(2003), penyandang akan berbuat semaunya sendiri, baik cara berpikir maupun
berperilaku.
Autisma/Autisme
adalah gangguan yang parah pada kemampuan komunikasi yang berkepanjangan yang
tampak pada usia tiga tahun pertama, ketidakmampuan berkomunikasi ini diduga
mengakibatkan anak penyandang autis menyendiri dan tidak ada respon terhadap
orang lain (Sarwindah, 2002).
Yuniar (2002)
menambahkan bahwa Autisma/Autisme adalah gangguan perkembangan yang komplek,
mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan
sosial dan emosional dengan orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai
ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat.
Autisma/Autisme berlanjut sampai dewasa bila tak dilakukan upaya penyembuhan
dan gejala-gejalanya sudah terlihat sebelum usia tiga tahun.
Yuniar (2002)
mengatakan bahwa Autisma/Autisme tidak pandang bulu, penyandangnya tidak
tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial, tingkat pendidikan,
geografis tempat tinggal, maupun jenis makanan. Perbandingan antara laki-laki
dan perempuan penyandang Autisma/Autisme ialah 4 : 1.
Dari keterangan
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri
sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar,
merupakan gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan
akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan
orang lain dan tidak tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial,
tingkat pendidikan, geografis tempat tinggal, maupun jenis makan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar